Minggu, 14 September 2025

Aku Ingin Mencintai-Mu Karena Ingin, Bukan Karena Takut

Sejak awal aku diperkenalkan pada-Mu, kata pertama yang melekat di kepalaku bukanlah cinta, melainkan takut. Aku mendengar ancaman-Mu lebih dulu sebelum aku sempat mengenal pelukan-Mu. Neraka disuarakan lebih keras daripada surga. Murka-Mu digambarkan lebih sering daripada kasih-Mu. Sejak itu bayangan-Mu selalu datang bersama cambuk, bukan tangan yang merangkul.

Setiap kali aku berdoa, tubuhku terasa seperti tahanan yang melapor. Sujudku kaku, hatiku kosong, dan lidahku menyebut nama-Mu dengan gemetar. Aku menunduk bukan karena rindu, tapi karena takut pandangan-Mu akan menghukumku. Aku ingin berkata bahwa aku datang pada-Mu dengan tulus, tapi kenyataannya aku mendekat hanya karena aku takut.

Aku ingin mencintai-Mu karena ingin. Aku ingin hatiku mencari-Mu karena kerinduan yang abadi, bukan karena dikejar ancaman. Tapi keinginanku selalu tenggelam oleh suara di kepalaku yang berbisik: jangan lengah, jangan lalai, ingat murka Tuhan, ingat siksa neraka. 

Aku ingin pulang kepada-Mu, tapi aku tidak pernah benar benar merasa pulang. Setiap kali aku mengetuk, pintu-Mu rasanya dingin. Setiap kali aku melangkah, aku merasa seperti penyusup di rumah orang lain. Aku ingin percaya bahwa Engkau adalah rumah tempatku kembali, tapi aku lebih sering merasa Engkau adalah penjara yang mengurungku.

Tuhan, aku lelah hidup dengan bayangan-Mu yang hanya menakutkan. Aku muak jika cinta pada-Mu hanya berarti ketundukan yang dipaksa. Jika benar begitu adanya, maka itu bukan cinta, melainkan tawanan. Dan aku sudah terlalu lama menjadi seorang tawanan.

Aku ingin tau bagaimana rasanya mencintai-Mu tanpa takut. Bagaimana rasanya menyebut nama-Mu dengan lega bukan dengan gemetar. Bagaimana rasanya bersujud dan merasa hangat, bukan karena merasa sedang dihukum. Bagaimana rasanya pulang dan benar benar diterima, bukan ditimbang, bukan dinilai, apalagi diancam.

Tapi aku tidak pernah tau. Aku hanya mengenal rasa gentar yang menempel seperti noda di darah. Aku hanya mengenal doa yang lahir dari rasa takut, bukan dari cinta. Aku hanya tau Engkau sebagai pengawas, bukan sahabat. 

Mungkin aku memang tidak pernah benar benar mencintai-Mu. Mungkin yang kucintai hanya keselamatan dari api-Mu. Mungkin yang kucintai hanyalah bayangan surga yang dijanjikan. Dan jika itu benar, berarti aku tidak pernah mengenal-Mu sama sekali.

Aku ingin mencintai-Mu karena ingin. Tapi yang kurasakan sekarang hanya satu: rasa takut akan dihukum, bukan cinta.

Aku ingin pulang kepada-Mu. Tapi aku tidak pernah benar benar merasa pulang. Dan sampai hari ini, aku menyimpan pertanyaan yang menggantung di kepalaku:

Bagaimana rasanya mencintai-Mu karena memang ingin, bukan karena takut?

Share:

Sabtu, 13 September 2025

Cermin

Aku bangun pagi dengan kepala yang rasanya seperti dipalu. Alarm gawai meraung di samping bantal dan terasa menusuk telinga. Tanganku sigap menekan layar dengan kasar. Sunyi akhirnya terdengar kembali. Tapi bukan sunyi yang menenangkan. Sunyi ini terasa dingin dan menekan seperti dinding kamar kos kecil yang kini turut menatapku tanpa belas kasihan.

Kamar ini sempit, hanya cukup untuk kasur tipis, meja kecil, dan lemari plastik yang sudah retak di pinggir. Bau lembap bercampur bau baju kotor yang menumpuk di sudut. Dari ventilasi sempit terdengar suara motor dan teriakan pedagang sayur. Dinding tipis membuat aku bisa mendengar batuk orang di kamar sebelah. Tidak ada yang benar benar sunyi di kos ini, tapi justru kesunyian dalam kepalaku lebih bising dari apa pun.

Aku duduk di tepi kasur. Punggung pegal dan bahuku terasa kaku. Aku menarik napas panjang, tapi terasa dangkal dan tidak pernah sampai penuh ke paru paru. Kaki menyentuh lantai keramik yang dingin serta agak lengket. Aku merasa jijik tapi tidak punya tenaga untuk membersihkan.

Aku menyeret langkah ke kamar mandi kecil di pojok kamar. Pintu tipis dari triplek berderit keras. Ruangan ini hanya muat untuk satu orang berdiri. Bau sabun basi bercampur bau handuk lembap yang sudah lama tidak kering sempurna. Aku menyalakan keran. Bulir airnya mengalir deras dengan suara keras  yangmemantul di ruang sempit.

Aku membasuh wajah. Dingin, menusuk, tapi tidak memberi rasa segar sedikitpun. Aku ulangi berkali kali seolah bisa mencuci lelah yang menempel di kepala. Tapi tidak kunjung berhasil. Yang ada malah kulitku menjadi basah dan mataku tetap berat.

Aku menggosok wajah keras keras sampai pipi perih. Tetesan air jatuh dari dagu ke wastafel kecil. Aku mengambil sikat gigi. Aku meludah dan berkumur. Air kotor berputar sebentar lalu tersedot paksa ke lubang pembuangan. Bunyi pipa tua terdengar serak seperti tenggorokan orang sakit. Aku pun melirik lantai. Ada noda hitam di pojok kamar ini. Sudah berbulan bulan ia ada di sana tapi tidak pernah hilang meski aku gosok. Noda itu seolah lebih menetap daripada aku sendiri di sini.

Aku pun menyisir rambut. Sisir tersangkut di helai yang kusut. Tarikannya terasa menyakitkan. Rambut rontok pun menempel di tanganku. Ku jatuhkan ke lantai helaian rambut rontok itu. Biarlah berserakan dimana mana. Toh, tiap sudut yang ada juga sudah berantakan adanya. 

Aku pun menatap cermin.
Ku lihat ada sosok manusia yang sama persis dengan diriku.
Sosok itu menatapkiu balik.

Mata sayu dengan lingkar hitam yang makin menebal. Kulitnya terlihat pucat. Bibir pecah pecah. Rambutnya yang tipis terlihat basah dan rontok. Aku pun tersenyum kecil. Sosok itu mengikuti. Aku mengernyit. Ia mengernyit. Gerakannya selalu tepat, tanpa cacat. Ah, kesempurnaan itu membuatku muak.

Aku mendekat. Mataku terlihat merah dengan urat urat kecil yang terlihat jelas. Aku melihat pori pori, garis halus, dan noda di pipi. Semua detail yang seharusnya meyakinkan bahwa ini benar adalah aku. Tapi tidak ada rasa akrab sedikitpun. Semakin lama menatap, semakin asing rasanya. Tanganku menyentuh kaca. Permukaannya dingin, licin. Jari jariku gemetar. Aku menekan lebih keras. Pantulan itu juga menekan. Seolah olah ia ingin menembus ke arahku.

Aku berbisik, “Siapa kamu?”

Suaraku serak. Pantulan bibir ikut bergerak. Rasanya seperti ia menjawab: siapa aku?

Nafasku mulai pendek. Dada terasa penuh dan tercekik. Aku mencoba menarik udara lebih dalam tapi tidak bisa. Aku merasa tubuhku sendiri sedang melawan. Aku mengusap wajah dengan tangan. Kulitku terasa seperti lapisan tipis yang tidak menyatu. Aku membayangkan menariknya dan mengupasnya. Tapi kalau itu hilang, lalu apa yang tersisa? Pikiran itu membuat perutku menjadi mual.

Aku menatap lagi. Sekejap pandanganku menjadi kabur. Terlihat bayangan berganda dengan dua wajah menumpuk dan tidak pas. Aku berkedip cepat lalu dua wajah itu terlihat menyatu kembali. Tapi rasa ngeri tidak kunjung pergi. Seolah olah diriku memang bukan satu orang saja.

Aku meremas tepi wastafel kecil. Tanganku licin dan hampir terpeleset. Lututku gemetar seakan tidak kuat lagi menopang. Keringat dingin keluar melalui pelipis dan menetes ke dagu. Bau tubuhku sendiri menyengat: asin, lembap, dan bercampur sabun basi. Bau itu menusuk dan membuatku semakin ingin muntah.

Aku mendekat lagi. Nafasku mengembun di kaca. Wajah terlihat di balik embun samar. Saat samar, aku merasa lebih nyaman. Saat jelas, aku merasa ingin lari. Aku menahan mata terbuka. Aku ingin tahu siapa yang lebih dulu akan mengedip. Aku atau dia. Mataku panas dan berair. Aku membuka mulut, ingin berteriak tapi tidak ada suara. 

Yang tersisa hanya beberapa pertanyaan yang bersarang di kepala:
Kalau semua ini adalah tidak nyata, lalu siapa aku sebenarnya?
Kalau semua ini adalah topeng, siapa wajah yang bersemayam di bawahnya?
Kalau pantulan ini pecah, apa yang akan tersisa?

Tapi tetap tidak ada jawaban.

Aku masih berdiri di kamar mandi kos yang sempit, bau, dan pengap. Waktu dan kehidupan yang ada di luar terus berjalan. Tapi di sini, aku merasa stuck dan tidak bisa kemana mana.

Sosok di cermin menatap balik.

Aku tidak tahu siapa dia.

Aku tidak tahu siapa aku.

Share:

Minggu, 07 September 2025

Memaknai Life Loop: Aku Kira Aku Sudah Selesai, Ternyata Aku Hanya Mengulangi Pola Yang Sama

"Kok jadi dejavu ya?"

"Rasanya seperti aku sudah pernah mengalami masalah serupa. Tapi kenapa sekarang terulang lagi?"

Rasanya dejavu. Seperti pernah ada di keadaan ini sebelumnya. Masalah yang aku hadapi sama, trigger yang aku temui sama, hanya dengan wajah, cerita, dan waktu yang berbeda. Aku pikir dengan aku pergi jauh dan merantau, sudah cukup untuk membuatku selesai dengan semua yang pernah terjadi di masa lalu. Aku pikir dengan mengubah nama panggilanku, aku sudah bisa membuka lembaran baru. Tapi ternyata, aku hanya mengulangi pola kejadian yang sama seperti sebelumnya. Apakah ini yang disebut life loop? Sebuah lingkaran tidak kasat mata yang selalu menarik diriku untuk kembali pada pelajaran hidup yang belum selesai.

***

Aku sering merasa hidupku seperti kaset yang diputar ulang karena selalu mengulang pola kejadian yang sama. Beda dari latar kejadian dan tokoh, tetapi konflik dan trigger yang aku hadapi sama. Jujur saja, ada rasa marah pada diri sendiri ketika life loop ini kerap terjadi. 

“Bukankah aku sudah belajar?"

"Bukankah aku sudah berjanji tidak akan jatuh pada lubang yang sama?” 

Tapi ternyata aku malah kembali lagi ke lingkaran yang sama, berhadapan dengan situasi yang serupa, membuat kesalahan yang sama, dan menelan kecewa yang sama. Ah, ingin rasanya ku caci maki diri ini yang bodoh karena kerap mengulangi pola yang salah. Aku pikir aku sudah banyak belajar, sudah melepaskan beban masa lalu, dan sudah berdamai dengan semua itu. 

Nyatanya belum sama sekali. Aku belum bisa menerima semuanya bahkan masih membawa semua beban itu di pundakku

Ibarat berjalan di atas treadmill, aku hanya jalan di tempat. Aku kira aku sudah berjalan jauh, ternyata aku hanya ada di lingkaran yang sama. Aku tidak pernah benar benar bergerak maju. Awalnya, aku pikir dengan mengikuti kelas, belajar, dan konseling ke psikolog, sudah cukup untuk membuatku pulih dan berdamai. Tapi ternyata semua usaha itu tidak cukup.

Selama ini aku ternyata hanya sibuk mencari jalan untuk menghindari rasa sakit yang belum sepenuhnya kupahami. Dalam proses ini, aku sadar bahwa diriku sendiri yang menipu: merasa sudah pulih hanya karena “sudah melakukan sesuatu.”

Sama seperti yang ditunjukkan dari penelitian K.M. Bell (2025) tentang trigger warning, kadang kita merasa siap menghadapi sesuatu secara teori, mengikuti kelas, membaca buku tentang self healing, penerimaan diri, dan pemulihan trauma, tapi saat situasi nyata datang, respons emosional itu tetap muncul. Selama luka batin belum selesai diproses, kita cenderung menjadi lebih reaktif. Trigger itu, apa pun bentuknya, bisa memicu rasa sakit atau kecemasan yang selama ini kita sembunyikan. Dan itu wajar karena respons emosi yang keluar bukanlah pertanda kegagalan, melainkan sinyal bahwa ada yang belum tuntas di dalam diri kita.

Konseling ke psikolog itu memang penting dan menurutku itu adalah keharusan. Tapi itu belum cukup kalau kita sendiri belum siap membuka luka lama dan unfinished business yang selama ini kita sembunyikan. Psikolog bukan penyihir yang bisa langsung menyembuhkan, mereka hanya teman yang punya kapabilitas untuk membimbing kita melihat, merasakan, dan memahami apa yang selama ini kita hindari. Proses pemulihan itu tetap di tangan kita sendiri. Kita yang memegang kendali untuk berani menghadapi rasa sakit, mengakui perasaan, dan perlahan menyelesaikan apa saja yang belum tuntas.

Aku sadar bahwa aku tidak bergerak ke mana mana. Aku hanya berjalan di tempat sambil membawa beban yang sama, luka yang sama, dan cerita lama yang tidak pernah benar benar aku coba untuk akhiri.

Lalu, muncul pertanyaan dalam benakku. Mengapa pola ini tidak berhenti dan malah terus berulang?

Pola yang berulang sebenarnya bukanlah suatu kebetulan. Pola ini kembali terjadi bukan karena dunia yang terlalu jahat atau kejam. Juga bukan karena aku yang tidak cukup baik. Pola ini kembali terjadi karena ada bagian dalam diriku yang belum selesai diproses, entah itu berupa perasaan, luka lama, atau trauma masa lalu. Tumpukan dari unfinished business di masa lalu yang mulai meronta dan meminta untuk segera diselesaikan. Luka luka lama yang belum sempat pulih dan hanya bisa aku bungkus dengan kata kata indah tentang penerimaan. Luka yang aku pikir sudah mengering dan hilang, ternyata hanya bersembunyi di balik dinding pertahanan yang tinggi.

Dan ketika Tuhan kembali menguji, ternyata aku kembali masuk ke dalam lingkaran yang sama. Lebih tepatnya masuk ke dalam lingkaran setan. Menghadapi masalah dan trigger yang serupa dengan orang berbeda. Rasanya seperti Tuhan berkata kepadaku,

“Kamu belum lulus ujian dalam ujian ini. Jadi kamu harus mengulanginya sampai kamu benar benar paham dan belajar."

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Julian Frazier, PhD, peristiwa ini dikenal sebagai repetition compulsion, di mana kita sebagai individu secara tidak sadar akan mengulangi pengalaman traumatis masa lalu sebagai bentuk upaya untuk menguasai atau memahami kenapa hal itu bisa terjadi, meskipun mungkin berakibat merugikan. Frazier menjelaskan bahwa pikiran kita cenderung mengkategorikan pengalaman buruk sebagai masalah dan pikiran kita tidak suka memiliki masalah yang belum terselesaikan.  Pola berulang ini muncul karena pikiran kita ingin menyelesaikan masalah yang belum selesai. Namun, tanpa kita sadari kita seringkali menciptakan situasi yang mirip dengan trauma masa lalu dan berharap kali ini hasilnya akan berbeda. Padahal, tanpa adanya pemahaman dan pemrosesan yang tepat, kita justru terjebak dalam lingkaran tersebut.

Seperti sekolah yang menuntut remedial saat gagal ujian, demikian juga hidup. Life loop adalah bentuk remedial dalam kehidupan. Life loop adalah panggilan untuk diri agar segera melakukan refleksi. Selama aku belum selesai dengan diri sendiri, pola kejadian itu akan tetap berulang dengan wajah lain, cerita lain, namun rasa sakit dan pola trigger yang sama. Satu satunya jalan keluar dari lingkaran ini adalah berani. Berani menghadapi, berani memahami emosi, dan berani mengakui reaksi reaksi yang muncul sampai unfinished business dan semua luka itu sudah selesai diproses.

Selama aku belum selesai dengan diriku sendiri, pola kejadian itu akan terus kembali. Dengan wajah berbeda, dengan cerita yang sedikit berubah, tapi rasa sakitnya tetap sama. Aku harus berani menghadapinya, memahami apa perasaan yang keluar, dan serta reaksi dari perasaan itu, baru aku bisa benar benar keluar dari lingkaran setan itu.

Sekarang aku sadar kalau pertanyaannya bukan lagi tentang kenapa hal ini bisa terjadi kembali. Melainkan tentang Tuhan ingin aku belajar apa dari semua kejadian berulang ini?

***

Daalam satu sesi konseling, ada pertanyaan dari psikolog yang sampai sekarang masih terngiang di kepalaku,

“Oh, jadi kamu tidak merasa nyaman ya? Boleh ceritakan ke aku bagaimana kamu memaknai rasa tidak nyaman itu? Bagaimana kamu menggambarkan rasa tidak nyaman itu?”

Aku terdiam sejenak dan mencoba menjawab.

“Aku juga bingung, kak. Aku belum siap untuk ngobrol lebih dalam tentang hal ini.”

Pertanyaan itu terus bergema di kepalaku. Aku mulai sadar bahwa rasa tidak nyaman yang selalu kusembunyikan bukan sekadar gangguan kecil. Melainkan sebuah sinyal alam bawah sadar yang menginformasikan bahwa ada bagian dalam diriku yang belum selesai kupahami dan belum berani kuhadapi.

Perlahan aku belajar bahwa pulih adalah soal keberanian. Keberanian untuk menghadapi luka lama yang aku simpan rapat, mengakui rasa sakit yang selalu aku tutupi, dan merasakan hal hal yang selama ini aku hindari. 

Kuncinya hanya satu: hadapi, bukan lari.

Sulit, tapi aku percaya kamu bisa.

Share:

Sabtu, 30 Agustus 2025

Apa Masih Ada Masa Depan untuk Kita?

Mendengar berita tentang kebijakan pemerintah akhir akhir ini membuatku muak. Bukan cuma aku, tapi hampir semua masyarakat di negeri ini turut merasakannya. Bukan semata mata karena isinya yang merugikan rakyat, tapi juga karena kesan bahwa suara kita tidak sepenting itu di mata pemerintah. Bukannya mendengar dan memberikan solusi, mereka malah melakukan banyak hal dan melahirkan kebijakan yang nirempati. Hingga akhirnya peristiwa demonstrasi tidak dapat dihindari. 

Adanya aksi demonstrasi ini membuat hatiku berdesir. Bukan aksi demonstrasinya yang aku khawatirkan, melainkan respon pemerintah yang ZONK. Alih alih mendengarkan, mereka memilih untuk bungkam dan lari. Alih alih introspeksi, mereka justru melawan. Marah, kecewa, sedih, takut, bingung… semuanya bercampur menjadi satu. Di tengah situasi yang genting ini, rasanya agak sulit membayangkan adanya harapan akan masa depan yang layak.

Aku bisa memahami akan terjadinya rentetan peristiwa demonstrasi seperti yang sudah berlangsung di Jakarta, Bandung, dan kota kota lain. Bagaimana tidak, di tengah tantangan ekonomi yang sedang sulit, pemerintah dan DPR terlihat seperti tidak berempati dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Mereka malah membuat banyak kebijakan yang hanya menguntungkan mereka secara pribadi. Seperti menaikkan tunjangan dan penghasilan DPR dengan seenaknya. Tunjangan perumahan baru sebesar 50 juta yang bernilai sepuluh kali lipat dari upah minimum DKI Jakarta, tunjangan membeli beras hingga 12 juta, serta tunjangan tunjangan lain dengan nilai fantastis.

Gaji pemerintah dan anggota DPR yang nilainya sangat fantastis dan mencerminkan kesenjangan sosial yang tinggi itu bersumber dari pajak rakyat. Ironisnya, di saat mereka hidup dengan segala fasilitas dan tunjangan fantastis, kita sebagai rakyat harus memutar otak hanya demi bertahan hidup sampai besok hari. Lebih menyakitkan lagi, dengan penghasilan sebesar itu masih sedikit sekali dampak nyata yang benar benar dirasakan oleh masyarakat negeri ini. 

Harga kebutuhan pokok terus melambung tinggi, lapangan kerja kian menyempit, sementara kebijakan yang lahir seolah tidak memihak pada buruh dan rakyat kecil. Bagaimana mungkin kita diminta bertahan hidup dengan kondisi seperti sekarang ini sedangkan para pemangku jabatan hidup dengan fasilitas yang serba mewah dan bersumber dari uang pajak yang kita setor setiap bulan? Aku sendiri tidak heran dengan berita kenaikan ini karena sebenarnya salah satu janji kampanye adalah menaikkan penghasilan para pejabat, bukan? Ironis...

Belum lagi cibiran dan perkataan yang nirempati keluar dari mulut mereka. Kata kata kasar seperti “tolol” terdengar dari orang yang seharusnya beradab dan berpendidikan. Seperti tidak pernah diajarkan bagaimana cara berkomunikasi di depan publik. 

Melihat mahasiswa, buruh, bahkan pelajar untuk menuntut keadilan, hatiku campur aduk antara frustrasi, bingung, sedih, dan takut. Namun, apa responnya? Bukan dialog, bukan solusi, tapi TINDAKAN REPRESIF. Gas air mata yang seharusnya digunakan untuk situasi darurat kini menjadi jawaban rutin atas suara masyarakat. Gas air mata yang disemprotkan oleh aparat bersebaran dimana mana bahkan sampai mengenai masyarakat sipil yang sedang mencari nafkah dan tidak terlibat demonstrasi. Sampai kapan suara rakyat dianggap angin lalu? Sampai kapan keselamatan dan martabat manusia dikorbankan demi menjaga citra penguasa?

Tragedi Alm. Affan Kurniawan adalah bukti bahwa nyawa rakyat seringkali dianggap tidak lebih berharga daripada gengsi kekuasaan. Ironisnya, mereka yang berseragam seharusnya melindungi bukan malah melukai. Tapi di negeri ini siapa yang masih percaya bahwa aparat dan pemerintah benar benar ada untuk rakyat?

Ironisnya lagi, ketika masyarakat turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi dan menjalankan hak demokrasi, para pemangku kekuasaan malah memilih bersembunyi di balik layar laptop dengan kebijakan Work From Home, seakan akan tuntutan rakyat hanyalah bising semata dan bukan hal penting yang harus mereka dengar serta beri solusi. Mereka mengatakan negeri ini adalah negeri yang demokratis, tapi pada kenyataannya mereka takut ketika masyarakat benar benar menggunakan hak demokrasinya. 

Mereka kerap berkoar tentang transparansi dan keterbukaan. Tapi setiap kebijakan yang mereka buat, selalu lahir di ruang tertutup yang tidak bisa dijangkau masyarakat. Mereka bicara tentang pengorbanan padahal tidak pernah merasakan satu hari pun harus hidup dengan gaji UMR atau bahkan di bawah UMR! Mereka sibuk menyiapkan strategi komunikasi bukan solusi. Mereka pandai memainkan kata kata tapi gagap saat dituntut untuk mendengarkan dan ditanya tindakan nyatanya.

Berulang kali, setiap ada masa saksi, pemerintah seakan akan mengadu domba antara masyarakat sipil dan pihak aparat. Lalu ketika terjadi insiden yang tidak diinginkan, mereka dengan mudahnya berlindung di balik kata maaf dan merasa tidak bersalah sama sekali! Perkataan maaf yang keluar bukan karena mereka murni mengaku bersalah, melainkan karena formalitas belaka demi menjaga citra serta kursi kekuasaan. 

Belum lagi adanya provokator dan 'segelintir manusia' yang hadir dan seakan akan bertindak sebagai pelaku demonstrasi. Membakar fasilitas umum hanya di malam hari dan berbuat anarkis. Hei, kenapa tidak kau lakukan di siang hari? Apakah kau takut identitasmu sebagai provokator terbongkar? Dengan membakar fasilitas umum, bisa dijadikan narasi oleh pemerintah untuk mengecap bahwa pelaku demostran bertindak anarkis, bukan? Sebuah alibi yang manis. Kau dibayar berapa untuk melakukan hal ini?

Tapi..

Dibalik semua rentetan kejadian ini, aku juga memikirkan banyak hal tentang masa depan. Di usia dua puluh enam ini, masih banyak hal yang ingin aku pelajari, masih haus akan pengalaman, dan masih punya banyak mimpi yang ingin dikejar. Perjalanan karirku masih panjang. Aku masih ingin belajar banyak tentang dunia marketing dan data. Aku masih ingin belajar dan punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Tapi di tengah kondisi seperti sekarang ini, rasanya bertahan hidup saja sudah menjadi pencapaian terbaik. Fokus awal yang ingin mengejar banyak mimpi, perlahan berubah menjadi fokus untuk sekadar bertahan hidup.

Apakah mimpi mimpi itu masih relevan? Apakah kita benar benar punya kesempatan untuk mewujudkannya ketika situasi negara seperti ini? Atau justru kita harus menyesuaikan diri dengan realita, mengurangi mimpi, dan hanya fokus pada hal hal yang bisa dikendalikan?

Aku jadi teringat dengan kata kata dari atasanku. Beliau berkata, "Tidak semua krisis itu membawa dampak negatif, beberapa diantaranya bisa membawa kita ke ide ide baru yang bisa memberi dampak positif."

Aku mencoba untuk tetap optimis seperti yang beliau katakan. Aku berusaha percaya bahwa kondisi yang sulit ini bisa melahirkan ide ide baru dan peluang yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Tapi jujur saja, tidak semua orang punya privilege untuk sekadar 'berinovasi'. Banyak dari kita yang hanya fokus mencari cara agar besok masih bisa makan agar bisa membayar kebutuhan pokok. Rasanya sulit memikirkan mimpi besar ketika realita tidak seindah laporan statistik pemerintah. Kondisi negara yang tidak stabil membuat banyak dari kita, khususnya aku sendiir, mulai menurunkan banyak ekspektasi. Bukan karena tidak mampu, tapi karena realita yang memaksa begitu.

Sebagai rakyat, aku merasa tidak mendapatkan jaminan rasa aman dari negara. Bagaimana kami bisa berpikir kreatif di tengah krisis ketika kebutuhan dasar saja makin sulit terpenuhi? Rasanya seperti berjuang sendiri sementara mereka yang punya kekuasaan sibuk dengan kepentingan pribadi. 

Bukan berarti ingin dimanja atau selalu diberi bantuan ya. Justru sebaliknya, aku tidak setuju dengan pola pemerintah yang selalu mengandalkan bantuan sebagai solusi, seperti bansos misalnya. Bukannya memperkuat fondasi survival skill dan membangun sistem yang berkelanjutan, mereka memilih jalan pintas yang hanya menyelesaikan masalah untuk sesaat. Bantuan itu mungkin meringankan tapi kan tidak memberdayakan dan memiliki efek jangka panjang. Aku yakin kita semua sangat membutuhkan kebijakan yang membuat kita sebagai rakyat merasa lebih kuat dan aman, bukan malah jadinya ketergantungan.

Aku sering membayangkan bagaimana rasanya hidup di negara yang benar benar berpihak pada masyarakatnya? Mungkin kami bisa fokus berkarya, belajar, dan meraih mimpi tanpa harus cemas apakah besok harga kebutuhan pokok melonjak lagi atau apakah gajiku cukup untuk sekadar membayar kos dan juga makan. Namun pada realitanya, aku merasa harus selalu memasang mode survival. Tidak ada kepastian dan juga jaminan. Sejujurnya, aku mulai lelah melihat berita yang hanya berbicara soal angka pertumbuhan ekonomi sementara faktanya, banyak masyarakat bahkan aku sendiri masih berkutat dengan realita yang pahit: kesenjangan sosial yang makin tinggi.

Jika negara seharusnya hadir untuk melindungi dan menyejahterakan rakyatnya, maka di mana mereka saat ini? Mungkinkah mereka BUTA dan TULI sebab memilih untuk tidak melihat dan juga mendengarkan?


PS.

Untuk rekan rekan yang terlibat aksi demonstrasi, semoga Tuhan senantiasa melindungi. Jaga barisan jangan sampai ada provokator yang menyusup dan membuat ricuh. Fokus kepada tuntutan awal dan jangan sampai terpecah belah, apalagi termakan isu SARA. Yang harus dilawan adalah pemerintah yang keji, bukan sesama kita sebagai masyarakat. Semoga Tuhan selalu melindungi. Semoga tidak ada aksi yang ditunggangi oleh kepentingan elite politik. 

Share: