Tidak seperti biasanya, Agustus 2025 ini kusambut dengan perasaan campur aduk: senang, haru, bingung, marah, cemas, takut, semua bercampur jadi satu. Senang, karena 90% bucket list sebelum usia 25 berhasil ku coret. Tapi juga cemas, karena tahun ini aku resmi memasuki fase menuju tiga puluh.
Walau masih terhitung 4 tahun lagi, aku harus bersiap dari sekarang agar diriku di usia 30 bisa hidup lebih baik dari dirinya di usia 20 ini. Aku memang tidak tau sampai kapan aku diberi kesempatan hidup, tapi aku hanya ingin mempersiapkan diri agar tidak banyak menyesal di kemudian hari.
Enam tahun lalu, saat aku berusia 19 tahun, perasaan yang sama juga aku rasakan. Perasaan takut dan cemas ketika menghadapi pergantian usia. Saat itu aku panik karena sebentar lagi akan genap kepala dua tapi aku masih belum memiliki pencapaian yang membanggakan dan belum ada persiapan sama sekali. Untuk mengurangi rasa panik, aku mencoba menulis bucket list dan membuat rencana rencana yang ingin kujalani.
Salah satu rencana kala itu adalah mendapatkan gaji pertama sebelum genap kepala dua. Hingga akhirnya, pada Juni 2019, dua bulan sebelum genap kepala dua, aku mendapat pekerjaan pertama sekaligus gaji pertamaku. Rezeki dan nikmat dari Tuhan yang ternyata menjadi awal dari perjalanan yang tidak pernah aku bayangkan.
Enam tahun berlalu, tepatnya tahun 2025, aku masih tidak percaya. Pekerjaan yang awalnya hanya diniatkan sebagai part time justru membawaku sejauh ini: bertemu orang orang dari berbagai latar belakang, berinteraksi dengan sosok yang dulu hanya kulihat di TV atau media sosial, hingga berani bepergian ke tempat yang belum pernah aku kunjungi. Kalau comfort zone itu punya pagar tinggi, sepertinya aku sudah melompatinya berkali kali.
Tentu ini terjadi atas izin dab bantuan dari Tuhan.
Namun, di balik semua pencapaian kecil dan pengalaman baru itu, aku sadar tidak semua langkah yang aku ambil itu benar benar bertujuan untuk bertumbuh jadi versi terbaik dari sebelumnya.
Aku rasa aku terlalu fokus pada citra dan penilaian orang lain hingga aku lupa bertanya apakah aku benar benar tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik atau sekadar menjalani hidup untuk mendapat validasi dari manusia?
Mungkin, pada perjalanan ini, aku hanya sibuk berjalan untuk terlihat hebat dan keren di mata manusia.
Apakah aku menjalani masa 20an awal ini sesuai dengan rencana? TENTU SAJA TIDAK.
Contoh kecilnya adalah ketika aku bermimpi mendapatkan gaji pertama sebelum usia 20 tahun. Bagiku itu adalah pencapaian yang cukup besar untuk diriku sendiri. Tapi kalau boleh jujur, di baliknya ada cerita yang berbeda.
Mengejar gaji pertama sebelum usia 20 dengan menekuni dan mempelajari digital marketing sebenarnya bukan karena aku punya visi karier yang jelas. Melainkan hanya pelarian, sebuah distraksi untuk mengalihkan pikiranku dari rasa kecewa terhadap diri sendiri.
Aku merasa gagal pada banyak hal yang sebenarnya menjadi impianku dari lama. Jadi aku memilih berlari ke arah lain yang rasanya bisa lebih bisa aku raih. Dulu aku pikir kalau aku bisa cepat menghasilkan uang, setidaknya aku bisa membuktikan bahwa aku juga layak dan berharga. Padahal jauh di dalam hati, aku sedang mencoba menutup lubang kosong yang belum sempat aku sembuhkan.
Akhir tahun 2018 sebenarnya menjadi titik terendahku, tahun di mana setiap usaha terasa sia sia dan setiap pencapaian terasa tidak pernah cukup baik untuk diri sendiri maupun orang di sekitarku. Aku berusaha memberikan yang terbaik, mengerahkan semua yang kumiliki, tapi tetap saja rasanya tidak cukup.
Aku gagal meraih apa yang aku impikan dan juga gagal mendapat validasi dari orang sekitarku akan usaha yang sudah aku lakukan. Yang lebih menyakitkan sebenarnya bukan hanya kegagalannya, tapi perasaan bahwa aku tidak cukup kompeten untuk melakukan hal yang dulu menjadi impianku.
Dimulai dari sana, aku sibuk mencari kambing hitam. Aku marah pada keadaan tapi jauh lebih marah pada diriku sendiri. Aku melakukan sesuatu yang kini kusadari sangat merusak: gaslighting terhadap diri sendiri. Setiap hari aku memaki dan mencerca diri dengan kalimat kalimat yang kejam:
"Aku terlalu bodoh."
"Kayaknya aku emang gak layak untuk berada di sini."
"Masa kayak gini aja aku gak bisa?"
"Harusnya aku bisa, tapi kenapa malah gagal terus?"
"Aku memang gak worth it untuk mencapai apa yang aku impikan."
Perlahan aku mulai percaya pada kata kata jahat itu. Aku menanam keyakinan keliru bahwa aku memang tidak layak hidup dan tidak pantas menerima hal hal baik hanya karena aku merasa gagal. Dan saat keyakinan itu mengakar, kepercayaan diriku pun ikut runtuh.
Itu adalah awal dari proses membunuh jiwaku sendiri. Jiwa yang dulunya penuh ambisi, selalu haus belajar, dan punya keinginan besar untuk bertumbuh. Dari hari ke hari, bulan ke bulan, hingga tahun ke tahun, api itu padam dan tergantikan oleh keraguan serta perasaan tidak berharga.
Aku menjalani hari seperti air yang mengalir. Sesuatu yang dulu sangat aku benci. Iya, aku tidak suka dengan prinsip menjalani hidup seperti air yang mengalir karena aku pikir kita tidak akan pernah tau kemana air itu akan membawa kita. Ke tempat yang lebih jernih kah? Atau justru ke tempat yang lebih kotor? Bagiku, itu terdengar seperti alasan untuk pasrah dan menyerah pada nasib. Yang pasti air selalu membawa kita ke tempat yang lebih rendah. Dalam pikiranku hal itu sama saja dengan mundur dan kalah.
Hatiku bergidik karena membayangkan dulu waktu kecil kita belajar menjilat ice cream, ternyata ketika dewasa kita belajar menjilat ludah sendiri.
Ya, aku merasa seperti menjilat ludah sendiri. Aku mengatakan benci kepada prinsip hidup yang hanya mengalir, tapi aku menjalaninya selama beberapa tahun terakhir ini.
Namun, perjalanan ini juga perlahan mengubah perspektifku. Aku membiarkan diri mengikuti arus, menyerahkan kepada Tuhan sepenuhnya tentang kemana langkah ini akan menuju, dan ternyata rasanya tidak seburuk itu. Bahkan, tak jarang arus ini membawaku ke tempat yang tidak pernah ku pikirkan dan cenderung lebih baik. Dari sini aku belajar bahwa pemahamanku dulu keliru.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan prinsip menjalani hidup seperti air yang mengalir. Mungkin, maksud menjalani hidup seperti air yang mengalir di sini adalah memiliki tawakal dan percaya kepada Tuhan, sembari kita juga berusaha dan berproses. Sebab melawan arus tidak selalu menandakan keberanian atau bahkan kelemahan. Ada kalanya dalam hidup kita bergerak mengikuti arus dan menuju muara yang lebih jernih, seperti apa yang diarahkan oleh Tuhan.
Saat sedang menjalani hidup mengikuti arus ini, aku menyadari lagi satu hal baru: sepertiny aaku belum benar benar bertumbuh. Walau secara kasat mata aku terlihat lebih baik dibanding diriku di masa lalu, nyatanya aku hanya berputar di lingkaran yang sama.
Aku pikir aku sudah improve, ternyata aku hanya sibuk melakukanimproving
Selama bertahun tahun aku mengira yang aku lakukan selama ini adalah bagian dari pertumbuhan. Tapi setelah aku pikir pikir lagi, yang aku lakukan hanyalah usaha untuk membuktikan sesuatu. Bukan kepada diri sendiri melainkan manusia lain. Sejujurnya, ku benci mengakui bahwa ada bagian kecil dari diriku yang selalu haus akan validasi manusia.
Rasanya seperti mengonsumsi narkotika: candu dan memberi ledakan dopamin sesaat, tapi meninggalkan kekosongan yang semakin membesar di dalam dada.
Semakin keras aku mencari validasi, semakin aku kehilangan arah. Hingga akhirnya, yang tersisa hanyalah rasa kosong belaka.
Butuh waktu lama untuk menyadari semua ini. Puncaknya ketika aku mendapat kesempatan untuk merantau. Aku pikir aku berjalan maju, ternyata aku hanya berjalan memutar. Mengulang pola yang sama, jatuh ke lubang yang sama, sampai membuka luka yang sama.
Mengejar validasi rasanya seperti berlari di atas treadmill. Melelahkan tapi tidak pernah benar benar membuat kita maju. Aku bisa saja terus membuktikan diri di mata orang lain tapi tanpa alasan yang tepat semua itu hanya akan berakhir dengan rasa kosong.
Menyadari Bahwa Dunia Tidak Selalu Tentang Aku
Selama ini, aku merasa seolah olah dunia berputar hanya untuk menguji dan menilai aku. Seperti pusat dari segala perhatian dan penilaian seolah semua mata tertuju hanya pada langkah dan kesalahanku. Aku terlalu tenggelam dalam bagaimana orang lain melihat dan menilai, sampai lupa bahwa sebenarnya dunia ini jauh lebih luas dan penuh dengan kisah yang tidak selalu tentang aku.
Mengejar validasi dari orang lain seperti mengejar bayangan yang tidak pernah membuat kita puas. Saat aku unlearn tentang hal ini, itu artinya aku memberi ruang untuk bisa lebih fokus pada hal yang lebih penting dalam hidup, percaya dan menerima diri sendiri.
Memaafkan dan Menerima Diri
Di usia dua puluh enam ini, aku belajar satu hal penting bahwa mencari validasi bukan musuh. Sesuatu yang wajar dan manusiawi karena kita semua sebagai manusia pada satu titik pasti ada rasa ingin diakui dan diterima.
This is our very first time being human and the journey is teaching us survival. Mungkin, dulu aku selalu mengejar validasi dan pembuktian diri semata mata demi bertahan hidup. Aku melakukan itu untuk meyakinkan diri bahwa aku layak meraih hal hal yang ku impikan.
Tapi ketika seluruh hidup kita hanya berputar demi mendapatkan validasi semata, kita akan kehilangan arah dan perlahan kehilangan diri sendiri.
Aku belajar memaafkan diriku di masa lalu yang terlalu haus akan validasi dan selalu ingin membuktikan diri. Karena sekarang aku sudah mengerti, perjalanan ini bukan lagi tentang membuktikan siapa aku di mata orang lain, melainkan tentang memperbaiki siapa aku di mata diriku sendiri. Bukan sekadar tumbuh ke arah luar, tapi juga tumbuh dari dalam.
Dan mungkin, titik awal pertumbuhan yang sebenarnya adalah ketika kita mulai berani percaya pada diri sendiri. Karena pada akhirnya, semua validasi yang datang dari luar pasti akan pergi. Tapi keyakinan pada diri sendiri adalah satu satunya hal yang akan tetap ada dan bertahan.